Musik Indah Seorang Tuna Netra


Perkenalkan, namaku adalah Samhita. Orang-orang biasa memanggilku dengan sebutan Hita. Aku adalah seorang anak tuna netra. Sejak kecil, aku tidak bisa melihat bagaimana indahnya dunia, wajah kedua orang tuaku, bahkan aku tidak bisa melihat wajahku sendiri. Saat aku berumur 2 tahun, ketika itu aku mulai bisa berjalan. Ayah dan Ibu sangat senang melihat perkembanganku setiap harinya. Namun dibalik perkembanganku itu terselip suatu keanehan. Aku memang bisa berjalan dengan baik, akan tetapi aku sering sekali menabrak suatu benda, sampai pada akhirnya Ayah dan Ibu mengajak aku pergi ke dokter. Dokter itu bilang bahwa penglihatanku mengalami kemunduran.

Pengelihatanku semakin berkurang, bahkan saat ini aku sama sekali tidak bisa melihat apapun. Aku tidak ingat bagaimana kejadian saat itu terjadi. Ayah dan Ibu yang menceritakannya padaku. Dari cerita mereka, aku bisa merasakan sedihnya mereka dengan kondisi ku. Bagaimana tidak, aku, putri sekaligus anak satu-satunya mereka tidak bisa melihat apa yang orang lain lihat. Walaupun dengan kondisi yang seperti ini, aku bersyukur telah diberikan Ayah dan Ibu sekuat dan setegar mereka.

Sejak duduk di bangku taman kanak-kanak, Ayah dan Ibu memasukkan aku ke sekolah luar biasa. Sekolah yang memang dikhususkan untuk anak-anak seperti aku. Dengan alasan supaya aku dapat bersosialisasi dan belajar dengan baik. Ayah dan Ibu tidak yakin bahwa aku dapat bersosialisasi dan belajar dengan baik jika aku bersekolah di sekolah biasa.

Saat ini umurku menginjak 15 tahun. Setelah aku dinyatakan lulus dari sekolah menengah pertama luar biasa, aku meminta kepada Ayah dan Ibu agar mengizinkan aku untuk bersekolah di sekolah biasa. Ini adalah tingkatan terakhir ketika bersekolah. Ketika aku harus merasakan suasana belajar di sekolah luar biasa dari tingkat TK sampai SMP, aku ingin sekali dapat merasakan suasana belajar di SMA biasa.

Secara kemampuan akademis, aku termasuk anak yang mampu mengikuti pelajaran di sekolah biasa. Namun, Ayah dan Ibu tidak yakin bahwa aku dapat bersosialisasi dengan baik di sana. Aku tahu yang mereka takutkan bukanlah aku yang tidak dapat bersosialisasi. Ayah dan Ibu takut jikalau aku mendapat perlakuan yang tidak baik oleh teman-temanku di SMA. Setiap hari aku selalu meyakinkan Ayah dan Ibu bahwa aku mampu untuk bersekolah di sekolah biasa. Hingga Ayah dan Ibu akhirnya mengizinkan ku untuk bersekolah di sekolah biasa. Aku memilih untuk bersekolah di salah satu SMA terbaik di Jakarta.

Menjelang hari pertama aku masuk sekolah, Ayah dan Ibu tidak henti-hentinya memberikan nasihat supaya aku dapat beradaptasi dengan baik. Aku mengerti bagaimana khawatirnya mereka kepadaku. Aku pun selalu meyakinkan mereka bahwa aku mampu bersekolah di sekolah biasa. Aku tidak ingin selalu dianggap sebagai anak yang berkebutuhan khusus, sebagai anak yang selalu perlu bantuan orang lain.

Tibalah hari dimana pertama kalinya aku bersekolah di sekolah biasa. Aku memang tidak bisa melihat bagaimana gedung sekolahku, seragam yang aku kenakan, atau melihat wajah orang yang akan menjadi teman satu sekolahku. Walau begitu, aku bisa merasakan antusias semua orang yang ada di sini, di sekolahku. Aku ditempatkan di kelas X-A. Penempatan ini berdasarkan hasil ujian nasional yang digunakan saat mendaftar.

Saat wali kelasku memberikan sambutan dan arahan, untuk kesekian kalinya aku dianggap sebagai anak yang sangat memerlukan bantuan orang lain. Wali kelasku, Bu Nani, memberitahukan kepada seluruh murid di kelas X-A bahwa mereka harus dapat menyesuaikan diri dan membantuku dalam beradaptasi. Bukannya aku sombong karena menggangap bahwa aku bukanlah seperti anak berkebutuhan khusus pada umumnya, tetapi aku hanya ingin diperlakukan sama dengan murid lainnya. Aku tidak ingin di"istimewakan". Salah satu tujuan dari impianku agar dapat bersekolah di sekolah biasa adalah supaya aku dapat merasakan suasana belajar dan bersosialisasi dengan orang-orang pada umumnya.

Setelah murid-murid kelas X-A mengetahui bahwa salah satu di antara kami ada seorang anak tuna netra, banyak yang menanyakan padaku bagaimana aku yang tidak dapat melihat memiliki otak secerdas ini sampai bisa diterima di salah satu SMA terbaik di Jakarta. Untuk berjalan saja pun aku masih harus meraba-raba, bagaimana bisa seorang anak tuna netra bersekolah di SMA terbaik? Semua hal mungkin saja terjadi padaku jika aku selalu yakin pada kekuatan Sang Pencipta. Setiap murid baru pasti selalu diperkenalkan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang tersedia di sekolah tersebut. Aku memilih untuk mengikuti marching band.  Bukan tanpa sebab aku memilih ekstrakurikuler itu.

Sewaktu umurku 5 tahun, Ayah dan Ibu mengajak aku ke suatu festival musik. Sebelumnya, aku ini terlahir dari orang tua yang memiliki darah seni. Jadi Ayah dan Ibu sering mengajak aku ke acara berbau musik. Selain sebagai seorang arsitektur, Ayah sangat pandai bermain beberapa alat musik seperti gitar, drum, dan piano. Sebelum menikah dengan Ayah, Ibu adalah seorang violinist. Sudah banyak lomba bermain violin yang dijuarai Ibu. Selain sebagai violinist, suara Ibu juga sangat merdu. Bahkan tidak jarang Ayah dan Ibu berduet, Ayah memainkan alat musik dan Ibu yang bernyanyi.

Di festival musik itu aku mendengar perpaduan suara alat musik yang sangat bagus. Ayah dan Ibu bilang bahwa itu adalah marching band. Kemudian Ayah dan Ibu menjelaskan sedikit tentang marching band kepadaku. Dari sanalah terlahir mimpiku untuk menjadi anggota marching band .

Awal perjalananku untuk mewujudkan mimpi itu dimulai saat ini. Aku menghadiri pertemuan pertama seluruh anggota baru marching band. Banyak di antara mereka, terutama kakak kelasku, yang meragukan aku. Pertama kalinya ada seorang anak tuna netra yang mengikuti marching band di sekolah ini. Untuk kesekian kalinya aku diragukan, aku semakin terbiasa jika aku selalu diragukan. Akan tetapi, hal itu akan selalu aku jadikan semangat supaya aku dapat berusaha lebih keras untuk membuktikan bahwa semua yang diragukan kepadaku adalah kesalahan. Anggota marching band yang lain berpikir bagaimana bisa seorang anak tuna netra memainkan alat musik seperti bass, terompet, mayoret, symbals, bellyra, dan bendera, atau melakukan sebuah formasi ketika sedang tampil.

Awalnya banyak yang menyarankan aku untuk mundur dari marching band karena aku akan sangat kesulitan dalam mengikutinya. Namun aku tetap bersikukuh untuk mengikutinya. Aku memang tidak dapat melihat, tetapi aku dapat mendengar dengan sangat baik. Karena yang dibutuhkan dalam memainkan sebuah alat musik bukanlah bagaimana penampilan kita dilihat bagus oleh orang lain, tetapi bagaimana penampilan kita didengar bagus oleh orang lain. Akhirnya aku tetap diizinkan mengikuti marching band. Aku tahu, mereka belum yakin bahwa aku mampu.

Di marching band aku ditugaskan untuk memainkan bellyra atau sebutan lainnya adalah marching bells. Sebulan pertama aku menjadi anggota marching band ternyata aku benar-benar mengalami kesulitan. Sulit bagiku untuk memainkan bellyra dengan baik. Terkadang aku lupa dengan urutan besi yang harus aku pukul. Karena aku belum dapat memainkan bellyra dengan baik, sehingga aku sering mengganggu jalannya latihan. Anggota yang lain sering marah kepadaku. Aku sering mendengar ocehan mereka yang kesal denganku karena lagu yang sedang dimainkan harus diulang kembali.

Suatu hari setelah latihan selesai, pelatih memanggilku. Kemudian, pelatih menyuruh aku untuk belajar private secara gratis dengannya supaya aku lebih lancar dalam memainkan bellyra. Aku langsung setuju. Setiap selesai latihan aku tidak langsung pulang ke rumah, aku pun sudah mengatakan hal ini kepada Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu sangat mendukung aku. Ayah selalu setia menunggu aku selesai latihan.

Satu tahun berlalu. Kini aku sudah bisa memainkan bellyra dengan lancar. Beberapa perlombaan mewakili sekolah bahkan mewakili provinsi sudah diikuti. Saat ini marching band sekolahku terpilih untuk mewakili Indonesia dalam perlombaan marching band tingkat internasional di Inggris, dan aku menjadi bagian dari anggotanya. Latihan pun semakin rutin dilakukan. Walaupun aku sering merasa lelah dengan kegiatanku seharian, tetapi support Ayah dan Ibu yang selalu membuat semangatku muncul kembali.

Beberapa bulan berlalu, tibalah waktu perlombaan yang selama ini dinantikan. Ayah, Ibu serta beberapa orang tua anggota yang lainnya juga ikut kami berangkat ke Inggris. Tidak lupa aku selalu meminta doa Ayah dan Ibu supaya marching band sekolah ku dapat mengharumkan nama Indonesia. Selang beberapa jam pengumuman pun dibacakan, marching band sekolahku yang mewakili Indonesia mendapatkan juara kedua. Kami semua sangat bersyukur. Walaupun juara pertama belum dapat kami raih, tetapi untuk lomba tingkat internasional ini sudah merupakan langkah awal yang sangat baik.


Mimpiku kini terwujud. Aku dapat menjadi salah satu anggota marching band, bahkan aku mendapatkan bonus luar biasa dengan mengikuti perlombaan tingkat internasional. Yang terpenting dari semuanya adalah aku dapat membuktikan kepada semua orang yang meragukanku. Walaupun aku tidak dapat melihat, akan tetapi aku mampu menampilkan musik indah yang dapat didengar dan dirasakan oleh banyak orang, karena aku adalah Samhita, yang dalam bahasa India berarti musik yang indah.

Komentar