Tentangku Seorang Anak Rantau


Sejak 2015, setelah dinyatakan lolos SBMPTN di Universitas Padjadjaran, gue menjadi seorang anak rantau. Ya memang jarak antara Jakarta-Bandung hanya berkisar 3-5 jam kalau melewati tol, tetapi itu sudah dapat disebut sebagai anak rantau kan? Hal yang tidak pernah gue lupakan saat itu adalah ketika gue dan keluarga berangkat ke Bandung kemudian gue tidak ikut mereka balik ke Jakarta. Awal-awal menjadi seorang anak rantau bagi gue sangat berat. Bahkan hampir setiap hari gue kangen rumah. Dulu setiap pulang sekolah selalu balik ke rumah dan dengar berisiknya adik gue, sekarang selesai kuliah baliknya ke kosan dengan situasi yang super sepi bahkan hampir tidak ada suara sama sekali.

Awal gue tinggal di Bandung, gue lumayan sering dijenguk dan sering balik pula. Sebulan sekali gue balik Jakarta. Seiring berjalannya waktu, semester pertama gue lumayan sibuk. Sibuk beradaptasi antara sistem sekolah dengan perkuliahan yang jauh berbeda, beradaptasi dengan mata kuliah yang bahkan tidak pernah gue dapat dibangku SMK, dan beradaptasi mengenai pola hidup sebagai anak kos yang harus serba mandiri. Selain itu gue disibukkan dengan kegiatan non-akademik seperti organisasi dan kepanitiaan yang gue ikuti. Semua hal itu sangat membantu gue untuk melupakan “homesick” yang selalu melanda.

Ternyata waktu yang gue butuhkan untuk beradaptasi lebih lama dari orang-orang. Gue sering mengalami gejala homesick sampai kira-kira semester 3. Walau selama itu kesibukan gue selalu bertambah, tetapi belum cukup untuk menghilangkan homesick yang sering menghampiri. Mungkin ketika di kampus gue merasa biasa aja bahkan gue sangat menikmati hidup sebagai seorang mahasiswi, tetapi ketika gue sampai di kosan homesick itu muncul lagi. Gue bener-bener susah untuk membiasakan diri dengan kondisi kosan yang sepi. Apalagi ditambah dengan tidak adanya TV di kamar gue. Akhirnya untuk menghilangkan itu semua, gue selalu menyibukkan diri sendiri ketika di kosan. Dari yang video call sama teman atau adik gue, baca webtoon, nonton film, atau sekedar menulis-nulis hal apapun yang ada dipikiran gue.

Sebelum gue menjadi anak kos, gue tinggal di rumah teman ayah di daerah Lembang. Setiap hari selalu diantar jemput. Namun, gue tidak betah. Gue tidak bisa bebas pergi kemana-mana karena susahnya kendaraan di sana. Walaupun sebenarnya tinggal di Lembang itu super enak udaranya. Akhirnya setelah 2 bulan di sana gue pindah ngekos di dekat kampus. Dan gue sengaja satu kos sama teman satu jurusan gue. Di kosan itu ada 3 mahasiswi Unpad termasuk gue. Satu kos sama teman yang kehidupannya sama kayak kita itu seru banget. Kita sering ke kampus bareng, makan bareng, nginep di salah satu kamar dari kita bertiga, menghabiskan weekend bareng, dan banyak hal lain yang dilakukan bareng.

Mereka sudah seperti keluarga gue di sini. Ketika gue bersama mereka di kosan, rasa rindu gue dengan rumah hilang. Bahkan gue merasa ada di rumah gue sendiri. Memang sangat dianjurkan bagi kalian yang jauh dari keluarga untuk tinggal satu tempat dengan orang yang seperti kita juga kehidupannya. Bisa saling tolong-menolong, saling menghibur, dan kalau ada apa-apa kita pun jadi mudah untuk meminta bantuan.

Diawal menjadi anak rantau, gue masih belum bisa mengatur waktu dengan baik. Setiap pagi gue sering tidak sempat menyiapkan sarapan nasi, akhirnya sekarang gue ganti sarapan itu dengan susu dan oatmeal. Kemudian gue selalu tidak sempat mencuci baju disaat hari kuliah karena selalu capek. Gue selalu mencuci baju weekend atau malam hari. Dan gue sering dimarahin karena nyuci baju malam-malam. Akhirnya gue nyuci baju kalau pulang cepat dan itupun kalau mood. Hehe.

Namun seiring berjalannya waktu gue semakin bisa menemukann cara untuk mengatasi permasalahan yang pernah gue hadapi selama menjadi anak rantau. Bahkan gue mulai menyukai kehidupan di Bandung, kota perantauan gue. Gue mulai bisa untuk tidak balik ke Jakarta sesering dulu. Mulai betah dengan namanya Bandung, dan mulai mencintai Bandung.

Mungkin hal yang paling gue tidak suka hidup diperantauan adalah ketika sakit. Saat sakit di kota perantauan itu benar-benar berasa banget yang namanya jauh dari orang tua. Sakit yang selalu gue takutin adalah mag. Ya, gue punya mag udah lama. Semenjak gue kuliah, penyakit mag gue sering kumat. Bukan karena hal-hal yang sering digambarkan kalau anak kos itu makannya mie instan, dsb. Hal ini karena gue yang selalu menunda makan, dan sering telat makan. Akhirnya, sekarang gue jadi takut banget yang namanya telat makan, dan gue jadi orang yang lumayan pilih-pilih makanan. Gue menghindarin makanan yang bisa menaikkan asam lambung. Gue sering banget makan ikan, telur, atau tempe tahu karena makanan-makanan itu bagus buat penderita mag. *Dari hasil browsing gue tentang mag*.

Sekarang gue sudah nyaman dengan kehidupan sebagai anak rantau, sudah bisa mengatasi permasalahan yang muncul ketika menjadi anak rantau. Bagi gue menjadi anak rantau itu menyenangkan. Kita bisa belajar banyak banget hal tentang kehidupan yang tidak bisa kita dapatkan kalau kita hanya tinggal di kota sendiri. Kita jadi bisa lebih menghargai pentingnya bertemu dengan keluarga, dan teman-teman. Kita menjadi orang yang lebih kuat dalam menjalani kehidupan. Mungkin awalnya terasa berat, tetapi lama-kelamaan akan terbiasa dengan sendirinya sampai kita tidak sadar bahwa masa-masa ini akan habis dan nanti hanya dapat kita kenang sebagai pengalaman dan pembelajaran luar biasa dalam hidup.

Komentar